Beranda | Artikel
Bagaimana Cara Mengganti Shalat Yang Tertinggal Tanpa Udzur?
Rabu, 17 November 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Bagaimana Cara Mengganti Shalat Yang Tertinggal Tanpa Udzur? ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 10 Rabiul Akhir 1443 H / 15 November 2021 M.

Download kajian sebelumnya: Udzur Bolehnya Shalat Diluar Waktunya

Kajian Fiqih Tentang Bagaimana Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan?

Bagaimana apabila ada seseorang tidak menjalankan shalat sampai keluar waktunya tanpa ada udzur syar’i. Apakah dia wajib meng-qadha’, ataukah dia tidak boleh meng-qadha’?

Ini banyak terjadi di masyarakat. Ada orang-orang yang memang benar-benar tidak memperhatikan shalatnya. Mereka malas menjalankan shalat, bukan karena ada udzur yang dibenarkan oleh syariat. Tapi memang karena meremehkan masalah shalat sampai berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Bagaimana dengan orang-orang yang seperti ini? Apakah ketika mereka bertaubat maka diwajibkan untuk meng-qadha’ shalat-shalat yang mereka tinggalkan dengan sengaja tanpa adanya udzur syar’i tersebut?

Pendapat Bolehnya Meng-qadha’ shalat

Jumhur ulama (dari empat mazhab) menyatakan bahwa mereka tetap wajib meng-qadha’ shalat yang mereka tinggalkan walaupun meninggalkannya tanpa ada udzur syar’i. Konsekuensi dari pendapat ini, misalnya ada orang yang dia menyepelekan shalatnya sampai 30 tahun. Setelah bertaubat maka dia wajib meng-qadha’ semua shalatnya. Apabila dia bertaubatnya umur 50 tahun, maka semua shalat yang pernah dia tinggalkan wajib diqadha’.

Jumhur ulama berdalil di antaranya dengan dalil-dalil yang mewajibkan qadha’ kepada orang yang meninggalkan shalat karena lupa atau karena tertidur. Dan banyak dalil yang menjelaskan wajibnya meng-qadha’ shalat atas orang yang ketiduran atau lupa. Mereka mengatakan bahwa kalau orang yang meninggalkan shalat dengan adanya udzur saja diwajibkan untuk meng-qadha’, apalagi orang-orang yang meninggalkan shalat tanpa adanya udzur.

Orang yang ketiduran dari shalatnya, dia tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ

“Tidak ada kesalahan pada tidur.” (HR. Muslim)

Orang yang ketiduran (tidak bersalah), itu saja setelah dia bangun wajib meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan, apalagi orang yang salah dalam meninggalkan shalat, tentunya dia lebih wajib untuk meng-qadha’ shalatnya.

Mereka juga berdalil dengan meng-qiyaskan masalah shalat dengan puasa. Mereka mengatakan bahwa dalam sebagian riwayat kisah orang Badui yang menjima’ istrinya di siang hari Ramadhan, ada redaksi yang bunyinya:

وَصُمْ يَوْمًا مَكَانَ مَا أَصَبْتَ

“Dan puasalah engkau sehari sebagai ganti puasa dihari yang engkau menjima’ istrimu.”

Orang yang menjima’ istri di siang hari Ramadhan, tentunya dia menjima’ dengan sengaja, berarti dia membatalkan puasanya dengan sengaja. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ternyata memerintahkan orang ini untuk berpuasa sebagai ganti satu hari itu. Jadi berarti puasanya dua bulan berturut-turut tambah satu hari itu.

Mereka juga berdalil dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَدَينُ اللهِ أحَقُّ أن يُقضَى

“Hutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu lebih pantas untuk dibayar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mereka mengatakan bahwa orang yang tidak shalat dengan sengaja itu berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hutang shalat tersebut harus dibayar/diqadha’.

Pendapat Tidak bolehnya meng-qadha’ shalat

Menit ke-13:23 Pendapat yang kedua mengatakan bahwa orang ini tidak boleh meng-qadha’ shalat. Kalau dia meng-qadha’nya, maka tindakan itu menjadi sia-sia. Ini adalah pendapatnya sahabat Umar bin Al-Khattab, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Dan tidak ada satupun dari sahabat yang menyelisihi mereka. Ini juga pendapatnya Al-Qashim bin Muhammad, Muhammad bin Sirin, Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama dalam madzhab Syafi’i, Dawud Adz-Dzahiri, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Syaikh Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin dan yang lainnya Rahimahumullahu Jami’an.

Pendapat ini juga berdasarkan banyak dalil. Di antara dalil yang mereka sebutkan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas kaum mukminin sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.” (QS. An-Nisa`[4]: 103)

Mereka mengatakan bahwa sebagaimana shalat fardhu tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, maka shalat fardhu juga tidak boleh dilakukan setelah lewat waktunya. Dan orang yang meninggalkan shalat tanpa disengaja berarti sengaja melakukan shalat fardhu setelah selesai waktunya. Sebagaimana shalatnya orang sebelum waktunya tidak sah, maka shalatnya orang setelah waktunya pun tidak sah. Hal ini karena waktu shalat sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ada awal dan ada akhirnya. Sehingga tidak boleh bagi orang-orang yang tidak punya udzur untuk menjalankan shalat di luar waktu.

Berarti orang yang sengaja meninggalkan shalat tidak boleh mengganti shalatnya, karena otomatis dia akan shalat di luar waktunya. Ini juga dakuk yang sangat kuat. Dan para ulama sepakat apabila seseorang melakukan shalat ketika belum datang waktunya, maka shalatnya tidak sah.

Dalil kedua yang mereka sebutkan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ‎﴿٤﴾‏ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ‎﴿٥﴾‏

“Celakalah orang-orang yang punya kewajiban shalat, yang mereka melalaikan shalatnya.” (QS. Al-Ma’un[107]: 4-5)

Dia punya kewajiban shalat tapi ternyata melalaikan shalatnya, sehingga tidak menjalankan shalatnya saat shalat tersebut diwajibkan. Ini dalil yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat, maka orang yang seperti ini adalah orang yang celaka.

Kalau shalat yang seperti itu bisa diqadha’, maka seharusnya ‘celaka’ yang ada pada orang tersebut bisa hilang. Tapi ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala di sini mencukupkan dengan mengatakan “Celaka orang-orang yang punya kewajiban shalat ketika mereka melalaikan shalatnya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berhenti di sini, Allah tidak mengatakan “kecuali kalau mereka nanti meng-qadha’nya.” Itu menunjukkan bahwa  qadha’ setelah ini tidak diperkenankan lagi.

Ini adalah hukuman yang berat. Karena dia tidak boleh meng-qadha’nya. Meng-qadha’ artinya mendapatkan kembali keutamaan yang tadinya dia lalaikan. Dan pendapat ini mengatakan bahwa dia tidak bisa mendapatkan kembali keutamaan yang dulunya dia sepelekan. Tentu ini hukuman yang lebih berat daripada hukuman wajib meng-qadha’. Karena hukuman wajib meng-qadha’nya berarti dia bisa mendapatkan kembali keutamaan atau pahala yang tadinya dia sepelekan.

Di antara dalil juga yang mereka sebutkan adalah hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang terlupa dengan shalatnya, maka shalatlah dia ketika dia mengingatnya.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menjelaskan tentang orang yang lupa. Sehingga orang yang tidak lupa, tentunya hukumnya tidak seperti ini. Di dalam riwayat lain disebutkan:

مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang ketiduran dari shalatnya atau dia terlupa dengan shalatnya, maka shalatlah ia ketika dia mengingatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa selain orang yang ketiduran, selain orang yang kelupaan, maka hukumnya tidak demikian. Dan tidak ada satupun hadits khusus yang menunjukkan bahwa apabila ada orang yang sengaja meninggalkan shalatnya tanpa ada udzur yang dibenarkan oleh syariat maka dia harus meng-qadha’nya. Padahal kemungkinan hal ini terjadi sangat besar sekali, sama dengan kemungkinan orang ketiduran/kelupaan dari shalatnya.

Para ulama yang memilih pendapat ini mengatakan bahwa qiyas yang dipakai oleh mayoritas ulama dalam masalah ini adalah qiyas yang tidak tepat. Hal ini karena qiyas yang dipakai adalah meng-qiyaskan orang yang tidak punya udzur dengan orang yang punya udzur (alasan yang diterima oleh syariat). Ini adalah keadaan yang sangat berbeda, bagaimana disamakan? Bagaimana orang yang tidak punya udzur dibolehkan untuk mendapatkan kemuliaan yang dia tinggalkan dengan menyepelekannya dan disamakan dengan orang yang punya udzur untuk mendapatkan kemuliaan yang tertinggal dari dia? Tentunya qiyas yang seperti ini qiyas yang sangat tidak tepat. Maka qiyas ini lemah.

Apabila kita melihat dalil-dalil yang ada dalam masalah ini, maka terlihat dalil pendapat yang kedua lebih kuat. Karena pendapat yang kedua ini disampaikan oleh sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dikatakan tidak ada satupun sahabat yang menyelisihi mereka.

Sehingga kalau ada orang yang sudah lama jauh dari Islam, shalatnya dia sepelekan, maka orang yang seperti ini tidak punya kesempatan lagi untuk meng-qadha’ shalatnya. Yang diwajibkan kepadanya adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan taubat akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.

Adapun shalat yang telah lalu yang dia tinggalkan tidak bisa diselamatkan lagi. Itu konsekuensi. Dia kehilangan banyak keutamaan/pahala dalam hidupnya. Kalau dia ingin menambah pahalanya, maka perbanyak shalat sunnahnya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ

“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka dia telah beruntung dan selamat. Apabila shalatnya rusak, maka dia telah celaka dan merugi. Apabila shalat fardhunya ada yang kurang, maka Allah sebagai Rabb Tabaraka wa Ta’ala mengatakan kepada para malaikatNya: ‘Lihatlah apakah hambaKu ini punya shalat sunnah yang bisa melengkapi kekurangan di shalat fardhunya?’ Kemudian amal-amal yang lainnya akan diperlakukan dengan perlakuan yang sama.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i)

Lihatlah betapa tingginya kedudukan shalat di dalam Islam. Maka bagi yang masa lalunya kelam, banyak meninggalkan shalat fardhu, bertaubatlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perbanyak shalat-shalat sunnah. Mungkin saja dengan shalat-shalat sunnah tersebut akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari siksa api neraka.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian Cara Mengganti Shalat Yang Tertinggal Tanpa Udzur


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/51049-bagaimana-cara-mengganti-shalat-yang-tertinggal-tanpa-udzur/